Muslimah pertama yang dinikahi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya Ummul Mukminin Khadijah al-Kubra Radhiyallahu ‘anha adalah Ummul Mukminin Saudah binti Zum’ah. Seorang janda berumur yang jauh dari makna cantik, tapi memiliki akhlak yang penuh pesona dan keimanan yang sukar tertandingi.
Janda dari Sakran ini tercatat pernah mengalami pahit getir perjuangan hijrah ke Habasyah bersama kafilah kaum mukminin untuk menyelamatkan imannya dari hama dan penyakit kufur sebaran kaum kafir. Selain itu, Ummu Saudah binti Zum’ah terpilih oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai istri lantaran sifat keibuannya sehingga bisa mendidik Fatimah az-Zahra binti Muhammad yang masih belia.
Dalam pernikahan agung ini, kita juga bisa belajar betapa bijaksananya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menyikapi kesalahan yang dilakukan oleh istrinya. Beliau meminta konfirmasi, tak langsung memvonis, apalagi menjatuhkan hukuman.
Hari itu, Madinah bertakbir penuh bahagia lantaran mendapatkan kemenangan dalam perang Badar al-Kubra melawan kaum kafir Quraisy. Di antara para tawanan itu, ada sosok Suhail bin Umar yang merupakan saudara Ummu Saudah binti Zum’ah.
Tatkala melihat saudaranya ditawan oleh kaum Muslimin, sifat asasi Saudah yang menyukai kekerabatan pun bangkit. Hatinya terenyuh. Kasihan. Diluar kontrol, Ummu Saudah pun berteriak, memberi dukungan kepada saudaranya yang masih kafir itu, “Mau ke mana, Abu Yazid? Apakah kalian akan menyerah dan mengulurkan tangan begitu saja? Jangan! Kalian harus mati dengan terhormat.”
Secara spontan, ucapannya meluncur tanpa diminta. Begitu saja. Tanpa diminta atau terkendali.
Saat menyadari kekeliruannya, Ummu Saudah langsung terdiam sembari merapal istighfar. Meminta ampun kepada Allah Ta’ala atas kesalahan yang tidak dia sengaja itu.
“Saudah,” ujar sang Nabi lembut dengan nada menegur, “apakah kamu membela Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?”
“Demi Allah, wahai Rasulullah,” ujar Ummu Saudah lirih, akui kesalahan, “aku tidak mampu menguasai diri ketika melihat Suhail bin Umar diikat, lalu secara spontan terlontarlah kata-kata itu dari mulutku.”
Mendengar jawaban istrinya itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. Beliau mengetahui isi hati istrinya. Beliau mengetahui kecenderungannya sebagai manusia. Karena itu pula, beliau tak memberikan hukuman. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memafkan kekeliruan istrinya.
Betapa mulianya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau, dalam kisah ini dan kisah-kisah lainnya, hendak mengajarkan kepada para suami terkait makna bijak saat menghadapi kesalahan istrinya. Sebab para istri, layaknya suami; hanya manusia biasa yang mustahil terbebas dari kesalahan.