Sufi yang Membahayakan Diri Sendiri dan Jamaahnya



Imam as-Sariyy bertanya kepada salah satu muridnya, Imam al-Junayd al-Baghdadi, “Jika telah usai belajar denganku, kepada siapakah engkau akan belajar?”
Sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Ghazali, Imam al-Junayd menjawab, “Aku akan belajar kepada Imam al-Harits al-Muhassibi, insya Allah.”
“Bagus sekali,” jawab Imam as-Sariyy sampaikan pesan, “Ambillah ilmu dan akhlaknya. Jauhi komentarnya tentang ilmu Kalam, dan tolaklah para ahli ilmu Kalam.”
Setelah mendengarkan saran gurunya, Imam al-Junayd pun pamit. Saat muridnya mulai beranjak, Imam as-Sariyy mengatakan, “Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikanmu seorang ahli hadits yang sufi, dan tidak menjadikanmu sebagai sufi yang ahli hadits.”
Dialog ini terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddintulisan Imam al-Ghazali, kemudian dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah saat menjelaskan Risalah al-Mustarsyidin tulisan Imam al-Harits al-Muhassibi. Dari dialog ini, kita bisa mengetahui manakah sufi yang sejati. Kita bisa membedakan, mana sufi yang membawa keselamatan dan mana pula sufi yang menjadi sumber kerusakan dan bahaya bagi diri dan jamaahnya.
“Barang siapa menguasai ilmu hadits,” tutur Imam al-Ghazali menafsirkan perkataan Imam as-Sariyy tentang ‘ahli hadits yang sufi’, “lalu bertasawuf, maka dia akan beruntung.” Sebaliknya, saat menjelaskan ‘sufi yang ahli hadits’, Imam al-Ghazali berkata, “Barang siapa yang menguasai tasawuf sebelum menguasai ilmu hadits (ilmu syariat), maka orang itu bisa membahayakan dirinya sendiri.”
Sudah menjadi keumuman yang terjadi di banyak thariqah, para sufi banyak yang melenceng dari kemurnian al-Qur’an dan as-Sunnah. Kebanyakan di antara mereka melenceng dalam soal pemaknaan syariat Islam dalam bentuk ibadah ritual.
Mereka meremehkan segala jenis ibadah-ibadah yang ada gerakannya, juga hukum-hukum yang terindra dengan jelas, terutama hukum-hukum fiqih. Saking sesatnya, ada kalangan sufi yang mengatakan bahwa ilmu fiqih membuat kaum Muslimin terhalang dari Allah Ta’ala lantaran sibuk memperhatikan kaifiat, tanpa memahami esensi di balik perintah itu.
Dalam tahap akut, mereka lebih percaya dengan adanya mimpi dan kehendak hati, lalu dalam waktu bersamaan meremehkan segala jenis ibadah-ibadah ritual yang dijelaskan di dalam al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah as-Shahihah.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari buruknya para sufi ini. Aamiin.