SUATU hari di tahun 1947, Prawirohardjo dan istrinya datang ke Wuryantoro, Wonogiri, 40 kilometer ke arah tengara Solo untuk mengunjungi sanak saudaranya di sana. Keponakan sekaligus anak angkat mereka, Soeharto, datang menemuinya. Membincangkan berbagai hal, termasuk menanyakan rencana apa yang akan dilakukan Soeharto ke depannya.
“Percakapan kami pada mulanya menyangkut hal-hal yang biasa saja. Tetapi tidak lama setelah itu muncul pertanyaan yang tidak saya sangka,” kata Soeharto, saat itu 26 tahun, dalam otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Pertanyaan itu datang dari istri Prawirohardjo, tantenya sendiri, yang menanyakan kapan Soeharto hendak berumahtangga. Soeharto menjawab dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai komandan resimen di tengah revolusi fisik yang masih berkecamuk pada tahun-tahun itu.
Ketika terus didesak untuk menikah dan membangun keluarga, Soeharto malah balik bertanya siapa perempuan yang bersedia dia kawini. “Saya tidak punya calon,” katanya.
Tetiba saja tantenya teringat kepada seorang gadis kawan sekolah anaknya di Solo. Hartinah namanya, anak Soemoharjomo, ningrat Solo yang bekerja sebagai wedana dan pegawai kraton Mangkunegaraan. Namun mendadak Soeharto ciut nyalinya.
“Apa dia akan mau?” kata Soeharto bertanya, “Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat,” kata Soeharto.
Tak lama setelah pertemuan itu, Soeharto dan keluarga tantenya berkunjung ke rumah Soemoharjomo di Solo, dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Hartinah, calon istrinya. Dalam pertemuan yang dalam adat Jawa disebut “nontoni”itu pun Soeharto masih belum percaya diri, “apakah dia akan benar-benar suka kepada saya?” Soeharto membatin.
Pada nyatanya keluarga Soemoharjomo menerima pinangan Soeharto kepada putrinya. Tak lama setelah pertemuan itu, pada 26 Desember 1947 pernikahan dilangsungkan. Hartinah berusia 24 tahun dan Soeharto 26 tahun ketika mereka menikah.
Menurut RE. Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik hubungan cinta dua sejoli yang berbeda latar belakang status sosial itu diuntungkan oleh situasi zaman revolusi. Keraguan Soeharto akan status sosialnya di hadapan keluarga calon mertuanya sangat beralasan. Soeharto datang dari desa, anak keluarga petani yang tak punya status atau relasi apapun dengan pihak keraton. Namun zaman revolusi memungkinkan seorang pemuda desa seperti Soeharto memiliki “pamor” karena berkecimpung sebagai perwira militer yang memiliki tempat terhormat pada masa itu.
Kendati bukan priayi, Soeharto bisa meniti karier sebagai tentara di tengah tatanan masyarakat yang mulai berubah akibat revolusi. Menurut Elson kondisi itulah yang membuat gambaran Soeharto berbeda di depan mata calon mertuanya, selain tentu saja karena hubungan dekat keluarga pamannya dengan orangtua Hartinah.
“Alhasil, perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, ‘witing tresna jalaran saka kulina”, datangnya cinta karena bergaul dari dekat,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH, dalam Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Hubungan cinta Soeharto dengan Hartinah atau kelak dikenal dengan panggilan Ibu Tien itu memang sepi dari gosip. Kecuali satu-dua desas-desus tentang hubungan Soeharto dengan perempuan lain yang sampai hari ini pun tidak jelas duduk perkaranya.
“Bahwasannya suka terjadi cekcok antara suami dan istri, itu adalah manusiawi,” ungkap Soeharto menjelaskan perjalananan rumahtangga dengan istrinya.