Sikap Suami-Isteri Ini Syar’i, Tapi Tidak Patut



Fiqih mengatur segala aspek kehidupan manusia agar sesuai dengan Syariat (SYAR’I). Baik kehidupan pribadi maupun hubungannya dengan makhluk lain. Selama 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Kelak, semua itu harus ia pertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Sementara Akhlak Mahmudah adalah tabiat, tingkah laku atau perangai baik dan PATUT, yang harus dijaga oleh setiap muslim agar senantiasa terjaga keharmonisan hubungan dengan makhluk di sekitarnya, khususnya antar sesama manusia.
Dalam hal pernikahan, misalnya;
1. Ketika suami tidak mampu menafkahi isteri dan anak-anaknya dengan baik, entah karena ia belum mendapat pekerjaan yang layak, atau tertimpa musibah PHK, maka isteri boleh meminta cerai darinya.
Meminta cerai dari suami dalam kasus di atas itu Syar’i, Tapi Tidak Patut.
Mengapa?
Sebab rumah tangga dibangun untuk menciptakan ‘sakinah’ (ketentraman/kenyamanan). Dan ‘sakinah’ akan tercipta ketika suami-isteri saling mengokohkan di saat yang lain rapuh. Saling menopang di saat yang lain terpuruk. Bukan meninggalkan di saat pasangannya tertimpa musibah.
2. Sedangkan dalam kasus suami berpoligami diam-diam, tanpa sebelumnya meng-edukasi istri, tanpa sedikitpun meminta pengertiannya. Poligaminya tetap sah, walau tanpa seizin istri pertamanya.
Poligami diam-diam itu memang Syar’i, tapi Tidak Patut.
Mengapa?
Sebab pernikahan itu dilangsungkan untuk menciptakan ‘mawaddah’ (penuh cinta dan kasih sayang). Bagaimana mungkin ‘mawaddah’ akan tercipta jika salah satunya merasa dikhianati.
3. Mayoritas Ulama Fiqih mengatakan bahwa isteri tidak wajib melakukan tugas rumah tangga. Jika suami pulang kerja, dan rumah berantakan, maka suami tidak boleh memaksa jika istri menolak untuk membereskannya.
Penolakan istri untuk membereskan rumah itu Syar’i, tapi Tidak Patut.
Mengapa?
Sebab rumah tangga dibangun untuk mendapat “Rahmah” (rahmat, ridha, karunia dan belas kasih dari Allah). Bagaimanakah ia akan mudah mendapat ridha dari Allah, jika tidak gemar mencari ridha dari suaminya.
4. Dalam Fiqih, suami boleh ‘menghukum’ isterinya jika nusyuz, dengan tingkatan yang diatur dalam QS. An-Nisa; 34. Yakni dengan Nasehat/ Teguran. Jika tidak ‘mempan’, maka dengan memisahkan tempat tidur. Jika tidak ‘mempan’ juga, maka dengan pukulan yg tidak memberi rasa sakit sedikitpun.
Jika suami menegur atau bahkan memukul istrinya yang sedang nusyuz di depan umum, ini Syar’i Tapi Tidak Patut.
Mengapa?
Sebab, itu akan membuat isterinya malu, dan menjatuhkan kehormatannya. Padahal, kehormatan isteri menjadi penopang kemuliaan seorang suami. Pesan yang disampaikan suami tidak akan tertangkap sebagai nasehat, namun justru menjadi bumerang.
5. Dalam Ilmu Fiqih, seorang Isteri tidak wajib mengurus dan memperhatikan keluarga suaminya. Termasuk ibu mertua dan ipar-nya. Sebab bagi isteri, kewajiban intinya adalah melayani dan menaati suaminya. Bukan keluarga suaminya.
Jika seorang isteri enggan mengurus mertuanya yang sakit, itu memang hak yang Syar’i tapi Tidak Patut.
Mengapa?
Sebab rumah tangga dibentuk dengan azas “mu’asyarah bil ma’ruf”. Dan itu diwujudkan dengan saling memperlakukan diri dan keluarga masing-masing dengan baik.
Slogan “Yang Penting Syar’i” ternyata belum sempurna, jika tidak mengindahkan Akhlak Mulia. Sebab kita tidak hanya diperintahkan untuk menjaga hubungan baik dengan Allah, namun juga dengan sesama manusia.
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ
Para penyayang itu akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian. [HR. Abu Daud dan Turmudzi]
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أهل الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهل السَّمَاء
Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya penghuni langit pun akan menyayangi kalian. [HR. Ahmad]
مَنْ لَا يَرْحَمْ مَنْ فِي الْاَرْضِ لَا يَرْحَمْهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Barangsiapa tidak menyayangi penghuni bumi, maka ia tidak akan disayang oleh penghuni langit. (HR. at-Thabrani).Wallahu A’lam Bishshawab. (voa-islam)