KASUS tangkap Densus 88 terhadap 2 orang warga Solo berinisial GL dan NS menjadi bukti kesekian kali tidak profesionalnya aparat Densus 88.
“Untung ini masih hidup, kalau mati terus apa jadinya? Ini efek kerja berdasarkan su’udzonisme dalam isu terorisme. Berbeda halnya jika menyikapi kasus teroris OPM,” tukas ujar Direktur the Community Ideologycal Islamic Analyst, kepada Islampos.com, Rabu (28/12).
Dalam kasus OPM, lanjut Harits, polisi terlihat lembek dan selalu mendahulukan prinsip kerja tidak boleh berdasarkan asumsi dan dugaan. Namun dalam kasus Solo hal ini tidak terjadi.
“Ini ambivalency penegakkan hukum dan sikap hipokrit diskriminatif. Untuk dua orang yang salah tangkap tentu melahirkan kerugian moril yang tidak bisa di ukur dengan uang pada diri korban. Begitu juga kerugian materiil juga mereka alami,” papar Harits panjang lebar.
Harits menegaskan, secara Undang-undang korban salah tangkap berhak menggugat, mendapat hak rehabilitasi nama baik dan ganti materiil.
“Tapi dalam isu terorisme yang tampak sampai saat ini adalah kedzaliman murokab. Sudah jadi korban salah tangkap, kemudian dilepas begitu saja. Permintaan maaf saja tidak, apalagi terpenuhinya hak lebih dari itu,” jelas Harits.
“Tampak sekali dalam isu terorisme penindakan hukum menunjukkan kulminasi penguapan keadilan di Indonesia. Dan kondisi seperti ini menurut saya akan terus bergulir sepanjang rezim ini setia berputar pada orbit kepentingan asing,” pungkasnya.
Seperti diberitakan GL dan NS ditangkap Densus 88 pada Selasa (29/12/2015) pagi di Laweyan, Solo. Kronologi ini berawal ketika NS mengambil sepeda motor untuk pergi ke masjid. Namun saat berjalan beberapa menit satu mobil jenis Avansa, tiba-tiba menyrempet dan memintanya untuk berhenti.
“Karena merasa tak punya salah saya juga bertanya apa salah saya. Bukan jawaban yang saya terima tetapi malah bentakan dan perlakukan kasar yang saya terima” ujar NS seperti diberitakan Panjimas.com. Namun karena tidak cukup bukti, akhirnya polisi melepaskan keduanya.