Utang menjadi kebutuhan pemerintah saat ingin mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selama 2015 tambahan utang pemerintah mencapai Rp 489,86 triliun dan secara total menjadi Rp 3.098,64 triliun.
Hal ini kemudian menjadi kekhawatiran banyak pihak, nominal utang yang tinggi berarti sama saja dengan melimpahkan beban kepada anak cucu nantinya.
Schneider Siahaan, Direktur Strategis dan Portfolio Utang, Ditjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJP2R) Kementerian Keuangan, tidak menapik kekhawatiran tersebut. Bila saja utang yang ditarik, dipakai untuk belanja yang tidak produktif.
"Kalau bukan untuk belanja yang produktif, iya ceritanya begitu (ditanggung anak cucu)," terangnya kepada detikFinance, Senin (25/1/2016)
Namun, hal tersebut bukanlah yang terjadi pada pemerintahan sekarang. Scheneider membuktikan, dengan besarnya alokasi belanja untuk pembangunan infrastruktur pada 2015 dan 2016. Di mana sebelumnya banyak habis untuk subsidi energi.
Pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, bendungan, irigasi, pelabuhan, bandar udara (bandara), dan lainnya. Dengan pembangunan tersebut, maka nilai ekonomi akan meningkat dalam beberapa waktu yang akan datang.
"Kita lihat tujuan jangka menengah panjang. Infrastruktur yang dibangun sekarang itu akan menciptakan nilai ekonomi yang lebih besar nantinya," papar Schneider.
"Kalau ekonomi lebih besar, artinya pendapatan masyarakat juga akan semakin meningkat dan penerimaan negara dari pajak juga akan meningkat. Semakin lama kita tidak akan lagi membutuhkan utang," tegasnya.
Dalam kondisi tersebut, pemerintah di masa yang akan datang bisa menyusun skema surplus dalam APBN. Belanja tidak perlu agresif, namun penerimaan negara tetap tinggi. Utang pun kemudian bisa dilunasi.
"Kalau mau lunasi, maka harus surplus. Itu baru bisa terjadi kalau pajak kuat, melebihi belanja yang diperlukan. Kalau kita konsisten dalam pembangunan ini, maka itu bisa terjadi," ungkapnya.