Anak Menangis Keras? Jangan Penuhi Permintaannya!



Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah perjalanan dengan pesawat terbang dari Jakarta ke Yogyakarta, para penumpang dibuat tidak nyaman oleh suara tangisan balita. Balita ini menangis terus di sepanjang perjalanan yang lebih dari satu jam dengan suara yang keras. Seperti tidak lelah menangis. 

Orang tuanya pun gagal membuatnya diam. Saya tidak terlalu merasa terganggu dengan suara tangis balita itu. Namun para penumpang di sekitar saya tampak gelisah dan tidak nyaman dengan gangguan itu. Perjalanan Jakarta – Yogyakarta yang teorinya hanya memerlukan waktu 50 menit, pada jam tertentu bisa menjadi 100 menit. Hal ini karena antrian terbang di bandara Soekarno Hatta yang cukup lama, dan antrian mendarat di bandara Adisutjipto yang juga lama. 

Pesawat harus berputar-putar di atas Yogyakarta untuk menunggu antrian mendarat. Bahkan kadang masih ditambah dengan antrian untuk mendapatkan tempat parkir di bandara Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, para penumpang dibuat terganggu oleh tangisan anak yang tidak ada jedanya. 

Sejak masuk ke dalam kabin pesawat, sampai saatnya turun dari pesawat, balita ini menangis terus. Saya melihat orang tuanya sudah putus asa untuk membuatnya diam. Mainan anak yang diberikan secara gratis oleh pihak Garuda pada semua penumpang balita pun tidak bisa meredakan tangisnya. 

Mungkin kita semua pernah mengalami kejadian serupa, apakah di kereta api, di bus umum, atau di kendaraan pribadi. Suara tangis anak bisa memicu suasana tidak nyaman pada orang-orang di sekitarnya, termasuk sopir. Tangisan balita yang wajar, bisa mengundang rasa simpati dan kasih sayang orang lain pada dirinya. Namun ketika tangisan itu sudah berlebihan, tidak wajar, maka bisa menimbulkan kejengkelan dan emosi pada orang yang mendengarnya. Mengapa ada anak yang sangat "suka" menangis? 

Bahkan ada anak yang cepat sekali menangis untuk sesuatu yang semestinya tidak perlu ditangisi. Mengapa bisa terjadi? Tentu saja ada banyak sebab dan faktor. Di antaranya adalah kurangnya perhatian terhadap anak, namun bisa juga karena cara memberi perhatian yang salah. 

Perhatian yang Salah Salah satu sebab anak menangis adalah karena ia minta perhatian dari orang tuanya. Perasaan anak yang ingin mendapat fokus perhatian, tidak ingin dinomerduakan oleh ayah atau ibunya, membuat ia menangis saat tidak mendapatkan perhatian seperti yang dikehendaki. Perhatian adalah bentuk kasih sayang orang tua yang dikenali oleh anak. Saat orang tua terbagi perhatiannya dengan hal-hal lain, seperti pekerjaan, tamu, gadget atau hal lainnya, membuat anak merasa kurang mendapat perhatian. 

Semua anak balita ingin agar dia adalah satu-satunya bagi kedua orang tuanya. Maka saat memiliki “pesaing” yang membuat perhatian orang tuanya terbelah, balita merasa tidak nyaman. Ia bertingkah untuk meminta perhatian lebih dan bahkan menjadi satu-satunya yang diperhatikan orang tuanya. Termasuk ketika di usia balita ia sudah memiliki adik, baginya adik adalah pesaing yang merebut perhatian orang tuanya. Anak yang menangis hingga meraung-raung mungkin sedang mencari perhatian, agar dirinya menjadi fokus perhatian. 

Namun Jacob Azerrad, Ph.D dan Paul Chance, Ph.D dalam artikel “Why Our Kids Are Out of Control” yang dimuat di web Psychology Today menyampaikan peringatan agar orang tua tidak memberikan perhatian yang salah terhadap anak. Ia mengutip pernyataan Betty Hart, Ph.D dari University of Washington bahwa perhatian yang salah terhadap anak bisa berdampak negatif terhadap kejiwaannya. 

Yang dimaksud dengan perhatian yang salah adalah bentuk “kekalahan” orang tua atau bentuk “pragmatisme” orang tua saat menghadapi anak menangis. Agar anaknya segera diam, tidak ribut, dipenuhilah apa yang menjadi keinginannya. Ketika anak minta dibelikan mainan sampai menangis, akhirnya dibelikan. Ketika anak minta makanan kesukaannya hingga menangis, segera dibelikan untuknya. 

Akhirnya anak menjadi memiliki “senjata” agar bisa dipenuhi keinginannya. Senjata itu adalah : menangis. Makin keras tangisnya, makin dipenuhi keinginannya. Saat anak merasa berhasil menggunakan tangisan sebagai senjata, ia akan semakin “menggoda” orang tuanya. Saat orang tua sedang berbincang bersama teman-teman kantor atau koleganya, si anak segera melancarkan aksi untuk meminta perhatian dengan menangis. 

Tangisan ini ampuh, membuat orang tua segera memenuhi permintaan si anak, agar anak segera diam dan tidak mengganggu orang tuanya. Mungkin orang tua merasa terganggu dengan suara tangisan anak, mungkin merasa kasihan, mungkin pula merasa malu dengan lingkungan sekitar. Misalnya saja saat sedang berada dalam suatu pesta, tiba-tiba anaknya menangis keras. Tentu hal ini bisa membuat orang tua merasa terganggu sekaligus malu kepada para tamu yang hadir dalam pesta itu. 

Agar anak cepat diam, segera diberikan apa yang menjadi keinginannya. Jika hal seperti ini terus menerus dilakukan, akan bisa menjadi watak dan karakter pada si anak hingga usia remaja. Sebuah penelitian dilakukan oleh Psikolog Betty Hart dan tim pada seorang anak balita bernama Bill. Anak ini dijuluki 'crybaby' di pre schoolnya, saking sering menangis. Setiap pagi Bill yang berusia empat tahun itu menangis 5 hingga 10 kali. 

Dia akan menangis saat jatuh atau saat anak lain mengambil mainannya. Semua anak dan guru mengenali tangis Bill, karena hal itu rutin terjadi setiap pagi. Setiap Bill menangis, guru akan segera mendatangi untuk menenangkannya. Ini mungkin menjadi semacam rasa tanggung jawab guru terhadap Bill yang telah dititipkan untuk belajar di lembaga mereka. Hart dan tim peneliti melihat perhatian yang diberikan kepada Bill untuk menenangkan itu justru menjadi penyebab ia suka menangis. 

Maka para peneliti meminta guru Bill untuk menerapkan cara baru. Setiap Bill menangis, guru akan mendatangi untuk mengetahui apakah ia terluka atau tidak. Jika Bill tidak terluka, guru tidak akan mendatangi untuk berbicara atau memperhatikannya. Guru hanya akan memberikan perhatian khusus kepada Bill apabila ia terluka atau jika ia kecelakaan --seperti jatuh--- walaupun tidak terluka, namun Bill tak menangis. 

Guru kemudian memberikan pujian kepada Bill atas sikapnya itu. Setelah lima hari hal itu diterapkan oleh para guru, ternyata frekuensi menangis Bill makin berkurang. Sepertinya Bill mengerti bahwa menangis tidak lagi bisa menjadi senjata baginya untuk mendapatkan fokus perhatian dari para guru. Bahkan akhirnya ia paham, yang membuatnya mendapat perhatian bukan karena ia menangis, justru ketika ia bisa bersikap tenang.

 Perhatian Bijak Inilah contoh perhatian yang bijak dari orang tua atau guru terhadap balita. Bukannya memberikan perhatian saat anak menangis keras, namun justru memberikan perhatian saat anak mampu bersikap tenang dan kooperatif. Anak akan mengerti bahwa menangis bukanlah senjata untuk “menekan” orang tua atau gurunya. J

ustru ketika ia menangis, tidak akan bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Sikap seperti ini memang tidak cukup mudah dilakukan oleh orang tua, karena memerlukan pembiasaan yang konsisten. Orang tua harus bersedia berada dalam kondisi sedikit tertekan oleh ulah anak selama masa pembiasaan. Namun jika hal itu dilakukan dengan disiplin, maka akan didapatkan hasilnya. Anak akan mengerti, perhatian orang tuanya dia dapatkan saat ia berlaku baik. Bukan saat ia menangis keras.   
Bahan Bacaan: Psychology Today

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pakcah/anak-menangis-keras-jangan-penuhi-permintaannya_56aaa8133fafbd9a0edb20b0